Kepala Sekolah (pura-Pura)

Tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional, sebelum mengucapkan selamat pada ”HARI ANAK NASIONAL” ini, ada kado istimewa bagi saya sendiri untuk memberikan selamat kepada anak nasional, meski pagi hari itu cuma satu anak yang saya beri ucapan selamat, yakni Ezra, anak TK A yang berada dibawah naungan yayasan pendidikan saya.

Pagi tadi, hari ini juga. Sesorang Ibu mengiba kepada saya untuk memainkan peran sebagai kepala sekolah di sekolah saya. Pantas saja, saya celingukan ke sana ke mari, pekerjaan yang tidak pernah saya sandang, dan hari itu harus saya perankan. Meski pernah beberapa bulan yang lalu saya mengajukan diri sebagai kepala sekolah di sekolah ini, tapi itu hanya sekedar lamaran. Dan setelah melewati proses seleksi dan fit and proper test saya dinyatakan belum diterima sebagai kepala sekolah, mengingat usia yang sangat muda sekali.

Ibu tersebut meminta saya untuk memberikan pengarahan kepada anaknya dengan mengaku sebagai kepala ssekolahnya. Sementara anak ibu baru sekolah di TK A yang kebetulan TK nya satu yayasan/lembaga dengan sekolah saya. Anak kecil tersebut tidak mau sekolah di TK, dia hanya menginginkan sekolah di sekolah saya (SD), secara kakaknya yang juga SD di sini. Mana mungkin bisa anak yang baru sekolah di TK A langsung minta pindah di SD? Kebetulan kakaknya sekolah di sekolah saya, jadi anak kecil tersebut menangis sejadi-jadinya untuk bisa sekolah bersama kakaknya di kelas. Padahal baju TK nya sudah ia pakai sejak pagi tadi.

Sang ibu yang pagi itu menemui Bapak dan Ibu guru untuk minta ada yang menjadi kepala sekolah, teman-teman guru tidak ada yang mau menjadi kepala sekolah (pura-pura) untuk mengakali si anak kecil agar mau sekolah di TK. Akhirnya, beberapa teman guru meminta saya untuk menjadi kepala sekolah (pura-pura). Meski tidak pantes jadi kepala sekolah, saya memberanikan diri untuk menjadi kepala atas permintaan Ibunya, atas ketidaktahuan anak kecil tadi.

Saya langsung mengambil tempat duduk di pojok ruangan yang biasa saya gunakan untuk makan bersama bersama para guru manakala istirahat, dan mempersilahkan Ibu tadi dan anaknya yang masih menangis sesenggukan duduk di depan meja saya. Pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada si anak bukan ”kamu tidak boleh sekolah di sini ya?” tetapi saya ingin mengajak dan menggiring pikiran anak ini ke arah pembicaraan saya, kepala sekolah (pura-pura).
”namanya siapa nak?” tanyaku merayunya, yang saya ulangi tiga kali meski tetap dicueki si anak. Sampai anak tersebut mau menjawab dan memberitahukan namanya. ”Ehhhhukkk…….ehhhukkk….Ezra”. jawabnya. Ibunya juga membantu saya memberikan pengarahan kepada anaknya, ”Ezra pak, namanya”.

”Ezra, boleh sekolah disini. Karena kakak Ezra juga sekolah di sini. Tapi Ezra tidak boleh satu kelas dengan kakak. Kakak khan sudah kelas III SD, sementara Ezra baru TK A. Untuk sementara Ezra sekolahnya di gedung sebelah sana” sambil saya menunjukkan gedung TK yang seharusnya dimasuki Ezra. Lambat laun, tangisan anak ini reda dan dia mau masuk ke gedung yang seharusnya.

Pagi hari, sebelum jam kerja yang ditandai dengan pukul 07.15 waktu setempat. Sebagai seorang guru dan meski dia juga bukan muridku sendiri. Jiwa-jiwa guru itu, hari itu muncul untuk memberikan pelayanan kepada sesama. Hari ini mengajak saya untuk menjadi guru bagi sesama, guru bagi anak-anak tanpa membedakan, apakah anak tersebut kita didik atau bukan? Apakah anak tersebut anak didik kita sendiri atau bukan? Bagi saya, ketika kita sudah terjun sebagai guru, 24 jam kita dermakan untuk anak-anak didik kita, untuk anak-anak nasional. Anak-anak indonesia ”Selamat Hari Anak Nasional, Nak”

Bagaimana dengan kita, apa yang kita berikan kepada anak nasional?

Sangatta, 23 July 2008
Sismanto
“Jadilah guru diri sendiri, sebelum menjadi guru orang lain”
http://mkpd.wordpress.com
http://sismanto.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *