Kepala Sekolahku Seorang Tahanan

Beberapa hari yang lalu selah seorang teman guru di salah satu TK Islam favorit bercerita kepada saya tentang perjalananya dengan anak didiknya. Bu guru mengajak anak-anak mengunjungi salah satu tempat yang semua orang enggan berada di sana, apalagi kontrak, dan makan gratis sebagai pasien di sana.
Waktu itu Bu Guru sudah berjanji kepada anak-anak bahwa pada hari yang ditentukan mereka akan mengunjungi suatu tempat. Lantas anak-anak pun bertanya kepada Bu Guru “Bu, kita nanti akan pergi kemana? Suara cengeng itu muncul dari salah satu sudut ruangan. Seorang anak kecil dengan wajah polos, agak imut, bikin seneng orang melihatnya.
Bu guru tidak langsung menjawab pertanyaan itu, karena ia sibuk menenangkan anak yang lainnya yang nggak bisa diatur. Namanya aja anak-anak Bu terkadang ya begitu susah di atur dan seenaknya sendiri. Mereka juga terkadang tidak mengikuti kemauan kita. Mungkin saking bandelnya atau memang kita masih belum bisa menjadi guru bagi mereka.
Anak didik kita akan belajar banyak dari kita, mereka menggunakan tangan kanan ketika makan adalah hasil dari pembimbingan orang tua, begitu pula mereka menggunakan tangan kirinya juga akibat dari kesalahan lingkungan yang dilihatnya.
Sama halnya potensi harimau yang dahsyat akan menerkam dan memakan daging binatang lain, sirna karena ia tidak ‘diajari’ oleh lingkungannya. Daging yang ia makan diperoleh dari pengasuhnya, bukan hasil buruannya atau terkaman orang tuanya. Ia tak pernah diajari berburu. Seperti itulah potensi anak kita berimajinasi & rasa ingin tahu, hancur karena belajar kurang atau tak pernah mengembangkan potensi itu. Mereka mengalami ‘salah ajar’.
Belum sempat bu guru menjawab pertanyaan anak didiknya yang berada di sudit ruangan, temennya yang lain bertanya dengan nada penasaran tentang tempat yang akan mereka kunjungi “ke mana sich bu?”. Bu guru pun menjawab dengan jawaban singkat “POLRES”.
Mendengar jawaban bu guru idolanya itu, anak yang pertama kali bertanya pun langsung memberi pertanyaan ulang “Emang polres itu apa sih bu? Tempat apaan koq aneh namanya? Aku koq baru tahu nama itu?”
Dasar yang namanya anak kecil belum sempat dijwab pertanyaan demi pertanyaan pun selalu ia lontarkan karena memang anak selalu ingin tahu kejadian atau tempat yang sebenarnya.
Bu guru pun menjelaskan bahwa POLRES itu merupakan suatu tempat pak polisi berkantor dan berkumpul. Tapi nanti kita ke sana tidak menemui polisi melainkan bertemu dengan para nara pidana yang di tahan. Anak yang dari tadi duduk di sudut ruangan sudah tidak sabar untuk bertanya kembali “Bu…nara pidana itu seperti apa sich?”. Ujarnya.
“Nara pidana itu orang yang ditangkap polisi karena berbuat jahat, mencuri, membohongi orang lain, dan kejahatan-kejahan lain di mata hukum” bu guru dengan sabar memberi penjelasan kepada anak didiknya.
“berarti kalau kita jahat dan berbohong sama orang tua, teman atau sama ibu guru nanti kita ditangkap pak polisi?” lagi-lagi anak yang berada di sudut ruangan itu bertanya.
Bu guru pun kehilangan kesabaran akan pertanyaan-pertanyaan dari anak tersebut dan kemudian tanpa pikir panjang tentang konsep yang seharusnya disampaikan benar atau salah kepada anak didiknya. Ia pun lantas menjawab “Iya anak-anak, ketika kita berbuat jahat, berbohong pada teman, orang tua maupun berbohong sama Bapak Ibu guru kita akan ditangkap oleh pak polisi dan dimasukkan dalam tahanan”.
Demikian jawaban yang keluar langsung dari Ibu guru. Padahal jika di simak secara seksama bahwa seseorang ditahan oleh polisi itu kan tidak sesederhana itu. Ada banyak indikasi dan prosedur yang dapat menarik seseorang untuk di tahan.barangkali Bu guru sudah begitu panik akan pertanyaan dari murid-muridnya yang terkenal paling rewel dan bandel itu menurut teman-teman seprofesinya lantas keluarlah ungkapan tersebut.
Namun anak juga tidak bisa disalahkan karena mereka ingin tahu dan merasakan apa-apa yang diketahuinya. Keadaan yang kurang mendukung dan mungkin karena bu guru kurang memahami metode penguasaan kelas atau barangkali bu guru kurang bisa mengorganisir kelas dengan baik, dan barangkali juga bu guru kurang mempersiapkan dan mengantisipasi pembelajaran yang akan berlangsung nantinya.
Hari-hari yang ditunggu pun akhirnya tiba, anak-anak sudah mulai mempersiapkan perbekalan mereka menuju ke tempat yang telah dijanjikan oleh Ibu Guru, suatu tempat yang sama sekali baru bagi mereka yang biasanya hanya mendengar kata setuju dari Bu Guru. Armada yang akan mengantarkan mereka ke kantor polisi pun sudah sejak tadi berbaris rapi seperti semut yang mengjak teman-temannya mengangkut sebutir nasi. Tidak kurang dari 5 armada dikerahkan untuk mendukung kelancaran proses tersebut.
Kurang lebih 15 menit perjalanan mereka sampai ke tempat yang dituju, begitu sampai di tempat parkir semua pendamping keluar terlebih dahulu (Bu guru), anak-anak diminta sementara waktu tetap di armada. Mereka diminta Bu guru menunggu sejenak untuk melaporkan diri bahwa kedatangan mereka sesuai dengan surat yang diajukan sebelumnya, yakni akan ada rombongan anak-anak TK yang akan belajar tentang kehidupan sosial.
Sebuah kehidupan yang anti tesis, dimana semua manusia menginginkan kebenaran hakiki ternyata ada juga manusia yang lainnya yang merasa “benar dan membenarkan diri” serta menginjak-nginjak saudaranya yang lain hanya untuk kesenangan semata yang sifatnya duniawi. Selesai melapor ke bagian penjagaan akhirnya bu guru pun menghampiri anak-anak untuk menuju tempat dengan pengarahan langsung dari Pak Polisi. Sampai akhirnya mereka sampai pada suatu ruangan sempit berukuran tiga kali empat meter luasnya.
Di balik juruji sudah berdiri sesorang laki-laki setangah baya yang punya harapan kuat bahwa ia tidak bersalah, tetapi keadaan dan kedholimanlah yang membuatnya berada di balik jeruji itu. Padahal Beliau saya kenal sebagai seorang guru sekaligus kepala sekolah di sekolah yang paling favorit di daerah tersebut. Beliau saya anggap sebagai Bapak dan juga saya anggap sebagai guru saya.
Bu guru yang sejak tadi mengajak anak didiknya ke ruangan itu kemudian menjelaskan bahwa orang yang berada di balik jeruji itu adalah orang yang jahat. “anak-anak, ada yang tahu mengapa orang ini berada di tahanan?”. Begitu pertanyaan yang diajukan Ibu guru kepada anak-anaknya.
“Jahat, suka berbohong, tidak berbuat baik bu!” jawab anak-anak secara bergantian. Lama Bu guru memandang wajah lelaki setangah baya yang ada di balik jeruji, tanpa ia sadari air matanya menetes. Ia teringat akan sosok seorang lelaki yang dulu pernah ia kenalnya. Seseorang yang berwibawa ketika membagikan piala bergilir dalam lomba anak sholeh di sekolah yang pernah ia ikuti, seorang trainer (instruktur) metodologi pendidikan berkelas nasional itu sekarang berada di balik terali besi dengan perkara yang semestinya tidak dilimpahkan kepadanya.
Demikianlah, hukum kita disatu sisi berbicara adil namun disisi lain keadilan itu hanyalah semu belaka. Meskipun secara hukum belum diputuskan apakah benar atau salahnya kepala sekolah ini. Tetapi secara sosial kita melihat adanya ketidakadilan hukum di sini.
Pertama, kepala sekolah yang sebenarnya mengatur roda organisasi persekolahan ternyata harus meninggalkan persekolahan karena tersangkut kasus hukum yang nampaknya ada muatan politis karena diolor-olornya proses pemeriksaan.
Kedua, ditolaknya penangguhan penahanan. Padahal 35 guru menjamin, dan tidak kurang dari 500 orang wali murid juga tanda tangan. Yang berikutnya permintaan penangguhan juga diajukan oleh pihak keluarga melalui tim pengacara. Toh juga tidak dikabulkan permintaan tersebut.
Ketiga, saya melihat ketidakseimbangan yang dilalukan aparat dengan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan semestinya. Padahal, seharusnya aparat harus mawas diri dan tidak berat sebelah atas suatu kasus. Kasus itupun juga tergolong bukan perkara pidana melainkan perkara perdata yang diajukan berdasarkan asumsi-asumsi.
Sampai tulisan ini selesai ditulis, kepala sekolah masih berada di balik jeruji dan belum diajukan persidangan, surat pengajuan penangguhan yang ditandatangani oleh tidak kurang 35 guru, 500 wali murid, dan keluarga tidak bisa mengabulkan surat penangguhan penahanan. Padahal secara hukum seharusnya hal ini bisa dilakukan, dan yang lebih parah lagi sekolah yang dulunya pernah meraih sekolah berprestasi tingkat nasional dan yang ditinggalkan oleh kepala sekolah itu sekarang berjalan seperti mayat hidup, hampa, dan tidak punya seorang leader yang setangguh kepala sekolah tersebut.
Bapak polisi yang terhormat, kabulkanlah surat penangguhan kami. Kami ingin bahwa meskipun ini masalah hukum, tapi bagaimana nasib anak didik kami, generasi penrus bangsa ini, yang tidak kurang dari 600 siswa menginginkan sekolahnya aman dari gangguan dan menginginkan suasana pembelajaran yang dialogis dan kondusif.

Sengata, 18 Pebruari 2008

Salam,
Sismanto
“Katakan yang benar itu benar, walaupun pahit rasanya”
http://sismanto.com

9 thoughts on “Kepala Sekolahku Seorang Tahanan”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *