Ketika Single Parent Mendidik Anak

Pada hakekatnya manusia diciptakan menjadi perempuan dan laki-laki. Keduanya diciptakan agar bisa saling melengkapi guna membangun suatu sinergi baru yang lebih dan bermanfaat bagi umat manusia. Namun dalam perkembangannya, dirasakan telah terjadi dominasi oleh satu pihak terhadap pihak yang lainnya, sehingga menimbulkan diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, beban ganda, ataupun tindak kekerasan. Secara statistik, kaum perempuan mendapatkan posisi yang kurang menguntungkan dalam berbagai aspek kehidupan. Situasi ini salah satunya terjadi dari hasil akumulasi dan akses dari nilai sosio kultural suatu masyarakat.

Hubungan yang timpang antara perempuan dan laki-laki perlu diubah secara struktural menjadi hubungan sosial yang setara. Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan dua faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.

Sejalan dengan perkembangan jaman, kaum perempuan mulai menyadari ketertinggalannya, sehingga mendorong mereka untuk memperjuangkan haknya dalam mengaktualisasikan dirinya untuk berperan di dalam pembangunan dan mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki. Namun demikian, disadari bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka perjuangan kaum perempuan tersebut tidak akan berhasil dengan baik.

Meminjam tulisannya (Maziyah, 2000), peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat perhatian dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam GBHN tahun 1978. Selanjutnya, dibentuklah lembaga Menteri Peranan Wanita pada tahun 1978 yang kemudian berubah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999, dengan harapan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki telah mendapat pengesahan dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 1984 tentang \”Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan\” (ratifikasi konvensi CEDAW). Setelah itu diterbitkan Surat Keputusan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita No. 02/Kep/MENUPW/IV/1991 tentang Pengesahan Pedoman Pelaksanaan Penanganan Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa di Pusat dan Daerah, Instruksi Presiden RI No. 5 tahun 1995 tentang \”Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Daerah\”, Instruksi Mendagri No. 17 tahun 1996 tentang \”Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan di Daerah\”.

Ada indikasi bahwa rendahnya pemahaman terhadap konsep gender juga melanda dunia pendidikan. Rendahnya pemahaman itu logis karena, kata \”gender\” belum termasuk kata bahasa Indonesia, terbukti belum menjadi entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kedua, referensi kata itu tidak jelas karena bersifat abstrak. Ketiga, dalam kamus bahasa Inggris kata itu tidak jelas bedanya dengan kata \”sex\” yang mengacu pada pengategorian jenis kelamin.

Penjelasan yang mudah diikuti kriteria dan ciri spesifiknya adalah penjelasan Direktur Perwakilan Oxfam untuk Indonesia, Mansoer Fakih (1998). Menurut dia, gender harus dibedakan dengan kata sex. Sex adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan karena itu melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, pria adalah manusia berpenis, berjakala, bersperma, dan sejenisnya; sementara wanita adalah manusia yang memiliki alat reproduksi telur, bervagina, memiliki alat menyusui, dan sebagainya. Alat-alat itu secara biologis melekat pada wanita untuk selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat).
Gender adalah pembagian kategori pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosiokultural. Misalnya, wanita secara sosiokultural dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan sebagainya; sedangkan pria dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.

Sifat-sifat tersebut tidak kodrati. Karena itu tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Maka ada pria emosional, lemah lembut, dan sebagainya; atau kebalikannya ada wanita kuat, rasional, dan sebagainya. Dengan demikian, semua sifat yang dapat dipertukarkan antara wanita dengan pria dan yang dapat berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari satu kelas sosial ke lain kelas, merupakan gender.

Dampaknya, anggapan keliru itu mempengaruhi keyakinan tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosiokultural tersebut. Itulah yang dimaksud dengan bias gender. Hal ini tidak hanya terdapat pada masyarakat secara keseluruhan. Namun juga dalam keluarga di mana anak pertama kali mengenal pendidikan.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Brown (1961: 76) yang mengatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak.

Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuhan itu menurut Stewart dan Koch (1983: 178) terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: (1) pola asuh otoriter, (2) pola asuh demokartis, dan (3) pola asuh permisif.

Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Namun demikian, banyak anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya secara lengkap. Diantara mereka hanya mendapatkan kasih sayang dari ibunya (single parent) saja dalam hal ini seorang ibu memerankan dua hal sekaligus, sebagai seorang ibu dan seorang ayah.

Keadaan memang bertambah sulit, lantaran secara fitrah ibu akan mengalami guncangan dahsyat atas kematian suaminya. Si anakpunakan mengalami guncangan serupa, terutama dengan kesiapan mental yang jauh lebih minim untuk menerima kenyataan itu. Apalagi, bila ia belum memahami makna dan hakikat kematian. Belum lagi, jika si anak mengalami kekeurangan-kekurangan, baik secara fisik maupun mnetal. Disamping itu, peran ganda sebagai suami diantaranya mencari nafkah penghidupan sehari-hari, akan banyak menyita waktu ibu, sehingga sempit baginya untuk mendidik si anak.
Ibu memeiliki peran yang cukup penting dan memainkan peran dalam menentukan proses pembimingan dan pembangunan kepribadian anak pasca kematian suami. Persoalan di mana kaum ibu pasca kematian suaminya memeiliki dua tugas yang amat penting, keibuan dan juga kebapakan. Kemampuan menggabungkan dan menjalankan kedua tuas itu dengan baik dan benar harus dimiliki oleh ibu yang mempunyai berstatus single parent.

Pasca kematian suami, seornag wanita mempunyai dua kedudukan sekaligus sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah dan sebagai ayah. Ia akan memiliki dua bentuk sikap, sikap sebagai ibu yang herus bersikap lembut kepada anak-anaknya, dan sebagai ayah yang bersikap jantan dan memegang kendali aturan dan tata tertib, serta berperan sebagai penegak keadilan dalam rumah tangga. Hal ini sejalan dengan pernyataan Qaimi (2003), bahwa peran sebagai ibu menjadi sumber kasih sayang. Sosok ibu adalah teman bermain anak yag pertama, sekaligus sebagai orang yang pertama kali bergaul dengannya. Terakhir peran ibu sebagai ayah, pasca kematian suaminya, seorang ibu walaupun dia perempuan harus menduduki posisi ayahdan bertanggungjawab dan menjaga perilaku serta kedisiplinan anaknya. Dengan tugas baru yang diembannya itu, ia memiliki tanggungjawab yang jauh lebih sulit dan berat ketimbang sebelumnya. Harapan kita ke depan, tidak akan ada ibu single parent. Seyogyanya sebuah keluarga tetap utuh sampai akhir hayatnya. Namun, apa hendak di kata bagaimaapun juga “single parent tidak saja ada. Wallahu ‘Alam bishowab.

Sangatta, 13 Juni 2008
Sismanto
http://mkpd.wordpress.com
http://sismanto.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *