Membela Anak di Hadapannya



Salah satu murid Bu Rina bernama Faradisha, teman-teman sekelasnya pun memangil Faradisha seperti orang tuanya menyebut dengan panggilan sayang kepada anak semata wayangnya, “Aisha”. Sebuah nama yang cantik sesuai dengan fisiknya, cerdas dan pintar di sekolah. tapi bukan pada perangainya.

Aisha setiap hari selalu diantar dan dijemput orang tua ketika ke sekolah yang jaraknya kurang lebih sepuluh kilo meter. Sesampainya di rumah Aisha selalu menceritakan kepada orang tuanya tentang setiap kejadian demi kejadian di sekolah secara runtut. Ia menceritakan bahwa hari itu mendapat nilai sepuluh pada ulangan Bahasa Indonesia dan 9,8 pada mata pelajaran Matematika.

Mendengar cerita dari anaknya yang terus menerus seperti itu, tentu orang tuanya menjadi bangga kepadanya. Ia selalu memuji-muji anaknya di depan teman-temannya seprofesinya, hingga teman dan koleganya hafal betul apa yang akan diceritakan orang tuanya Aisa ketika bersama. Sebagai orang tua yang kurang mawas diri, selalu percaya pada omongan anaknya dari pada kebenaran, meletakkan kebanaran adalah segala-galany jika anaknya yang berbicara. “Saya lebih percaya pada anak saya daripada gurunya, karena anak saya adalah investasi masa depan saya, anak saya terlalu berharga untuk bicara kebohongan, dan itu bukanlah tipe anak saya”

Ungkapan demikian, yang dilakukan orang tua kepada gurunya seringkali saya dengar, kadangkala orang tua tidak mau penjelasan dari gurunya bahwa anaknya melakukan perilaku yang kurang terpuji. Sebagai guru saya sependapat dengan apa yang dilakukan Bu Rina, dia telah melakukan sesuatu yang sudah seharusnya menjadi tugasnya. Menceritakan progress report anak didiknya satu-persatu kepada orang tuanya. Namun ketika giliran menjelaskan progress reportnya Aisha mengapa orangtua tidak terima terhadap kondisi anak kita?

Bu Rina dengan kemampuan yang terbatas harus mengasuh dan mendidik anak sejumlah 34 siswa di kelas, tentu tidak bisa disalahkan begitu saja karena dia telah melakukan tugasnya sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sesuai dengan hadist Arbain Nawawi ke -9 yang berbunyi, dari Abu Hurairah, \’Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu \’anh, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : \”Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh)\” [Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]

Kemampuan yang terbatas dari Bu Rina ini hendaknya juga dimaklumi oleh orang tua, namun saya melihat bahwa terkadang orang tua kurang proporsional dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada anaknya, padahal secara factual, anaknya telah melakukan tindakan yang kurang terpuji. Tindakan yang dilakukan orang tua ini memang sudah sepatutnya dilakukan, namun yang perlu digarisbawahi adalah jangan membela anak, membenarkan anak di depannya. Hal ini berakibat anak semakin kebal dengan apa yang dilakukan meskipun perbuatan negative. Jika saja perbuatan negative ini terus berlanjut, maka akan menjadikan imun bagi anak bahwa ketika melakukan kesalahan pasti akan dibela oleh orangingin s tuanya. Tentu saja anak semakin perkasa dengan perilaku negatifnya, apa kita ingin punya anak seperti demikian?

Berbeda halnya, ketika masalah ini sudah jelas berkaitan dengan masalah potensi dan bakat anak. Sebagai orang tua kita dapat membenarkan potensi alamiah anak atau memuji bakat yang dimiliki anak di depannya sekaligus. Sekali lagi yang perlu diwaspadai terkadang terjadi salah seorang guru atau yang bertanggung jawab (BP/bimbingan dan penyuluhan) melaksanakan tugas konseling terhadap seorang siswa atau memberi hukuman kepadanya. Setelah itu, ayahnya datang sambil meluapkan emosinya, yang semestinya ia mengadakan diskusi secara tenang dengan guru atau guru BP tersebut. Padahal, sikap semacam itu yang seharusnya jauh dari pandangan si anak.

Endingnya, kita dapati orang tua (ayah) itu melontarkan kata-kata yang tidak sopan kepada guru atau guru BP itu. Bahkan, ia sangat emosi kepada guru atau guru BP itu sehingga menjatuhkan martabatnya di hadapan anaknya. Dari sini, nilai sekolah itu berkurang dalam pandangan anaknya. Bahkan, ia merasa dirinya lebih super dan membanggakan dirinya. Dengan demikian, omongan guru-guru atau pendidik itu tidak lagi diperhatikan lagi oleh si anak itu.


Sangatta, 28 April 2008

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *