Menakar Biaya Pendidikan Pasca-Otoda

Menakar Biaya Pendidikan Pasca – Otoda

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berdampak pada penyerahan sebagian wewenang dari pusat ke daerah. Dalam hal ini pemerintah menyerahkan masalah pendidikan ke daerah dan sekolah masing-masing, maka masalah pembiayaan pun menjadi kewenangan sekolah. Otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat mensejahterakan rakyat setempat, meringankan beban hidup, memberi jaminan kelayakan hidup, terpenuhinya layanan kesehatan dan pemerataan pendidikan serta harapan-harapan menggembirakan lainnya. Akan tetapi harapan tinggal harapan, ternyata tidak ada perbedaan antara sebelum maupun sesudah pelaksanaan otonomi daerah.

Sama seperti sebelum pelaksanaan Otonomi Daerah, bahan-bahan kebutuhan sehari-hari masih tetap mahal, biaya berobat mahal demikian pula biaya pendidikan dirasa oleh masyarakat sangatlah tinggi. Kondisi yang demikian ini bisa jadi disebabkan oleh tuntutan pelaksanaan otonomi daerah yang mengharuskan daerah lebih meningkatkan kemandiriannya. Mandiri dalam pengembangan wilayah, mandiri dalam penggalian pendapatan asli daerah juga mandiri dalam pembiayaan kebutuhan/kepentingan wilayah termasuk pembiayaan pendidikan.

Dalam hal pembiayaan pendidikan sekolah diharapkan tidak lagi menggantungkan dana opersional yang selama ini didapat dari pusat maupun APBD akan tetapi sekolah diharapkan mampu meggali sendiri dana dari para orang tua dan simpatisan lainnya. Subsidi pendidikan yang selama ini diberikan oleh pusat sedikit demi sedikit dikurangi bahkan pada saatnya nanti akan dihapuskan. Arah kebijakan subsidi diubah menjadi bentuk voucher, yaitu pemberian beasiswa langsung kepada siswa tidak mampu.

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan menjadi prioritas utama. Disebutkan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)” (UUD 1945, Pasal 31). Amanat rakyat yang dituangkan dalam UUD 1945 menekankan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan bangsa dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat 4, kemudian didukung dengan UUNo. 20 tahun 2003 pasal 49 ayat 1 dengan tegas dinyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Pencantuman persentase anggaran pendidikan dalam UUD 1945 sesungguhnya merupakan reaksi dari tidak konsistennya komitmen pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh naik turunnya persentase RAPBN untuk sektor pendidikan antara 6% sampai dengan 12%. Bahkan pada saat GBHN tahun 1993 menyatakan bahwa titik berat pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi seiring dengan pengembangan sumber daya manusia (termasuk di dalamnya pendidikan) tetap saja semangat itu tidak tercermin dalam RAPBN/RAPBD. Adanya block grant dari Pemerintah tetapi dana hanya didrop dan tidak didasarkan pada kebutuhan lapangan, aturan dan mekanisme kurang jelas serta tidak adanya transparansi.

Lebih lanjut dikatakan Rusdarti (2004) ditinjau dari pihak-pihak yang mengeluarkannya, biaya pendidikan dapat dikategorikan ke dalam biaya pribadi (private cost), biaya sosial (social cost), dan biaya pemerintah (public cost). Biaya pribadi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh orang tua (keluarga) siswa (household expenditures) untuk kepentingan pendidikan. Biaya sosial merupakan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan, misalnya: beasiswa dari perusahaan, dan bantuan-bantuan lain yang diberikan oleh perusahaan. Biaya pemerintah merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah yang diperoleh dari pendapatan pajak ataupun pendapatan lainnya untuk penyelenggaraan pendidikan.
Sekiranya semua itu diwujudkan, maka pembiayaan pendidikan akan lebih ringan dan memungkinkan mutu pendidikan akan lebih baik. Akan tetapi otonomi daerah juga memicu keharusan Otonomi Sekolah, artinya sekolah (terutama Sekolah Negeri) yang selama ini sangat menggantungkan dana dari pusat harus memutar otak untuk mampu membiayai dirinya sendiri. Penyediaan alat dan bahan, pemeliharaan sarana-prasarana dan gedung semua itu harus ditanggung oleh sekolah. Sebagai sandaran utama untuk membiayai ini semua maka beban pembiayaan itu menjadi tanggung jawab orang tua.

Situasi perkembangan pendidikan sekarang, menunjukkan salah satu keadaan bahwa pada setiap permulaan tahun, hampir di seluruh Indonesia penerimaan murid baru senantiasa menjadi topik yang hangat. Sebabnya ialah, jumlah calon murid yang mendaftar jauh lebih banyak daripada kemampuan daya serap sekolah-sekolah yang ada. Persoalan ini, pada umumnya lebih hangat di tingkatan SLTP dari pada SD, lebih hangat ditingkatan SLTA daripada SLTP, dan yang paling hangat adalah di tingkatan perguruan tinggi, karena piramida tingkatan pendidikan tidak sebanding.

Pada masa depan, persoalan ini mungkin lebih hangat lagi, oleh karena pertambahan penduduk jauh melebihi pertambahan kemampuan fasilitas. Maka persaingan untuk mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan akan makin keras lagi. Sehingga, perlu adanya kebijaksanaan yang ditempuh pada keadaan sekarang dan masa mendatang. Menjelang awal tahun ajaran baru orang tua siswa berhadapan dengan keperluan¬-keperluan tahun ajaran baru untuk memasuki sekolah berikutnya, seperti pendaftaran siswa baru, pembangunan sekolah, buku perpustakaan, buku pelajaran, SPP, seragam sekolah/olah¬raga, praktikum, olah¬raga (renang), komputer, musho¬la (kegiatan keagamaan), ek¬stra kurikuler, dan pendaftaran seleksi calon siswa bagi sekolah lanjutannya.

Pendeknya, aksessibilitas masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah unggulan kian memuncak, namun banyak orang tua siswa menunjukkan tanda-tanda kegelisahan karena biaya pendidikan (unit cost) di sekolah-sekolah unggulan yang selangit. kegelisahan itu, akibat kebiasaan selama ini berbagai pu¬ngutan yang selalu menghantui, bahkan mungkin kegelisahan itu kian memuncak sehubungan dengan alokasi dana untuk pendidikan belum ada tanda-tanda sentuhan reformasi.

dimuat harian kaltimpost 15 Agustus 2008

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *