MENINJAU DEMOKRASI UNDERBOW PARPOL

Sismanto

Underbow parpol sama halnya dengan miniatur demokrasi suatu negara. Sebagai suatu miniatur tentunya ada check and ballance, ada kalanya underbow sebagai pembimbing dan penasehat spiritual parpol, dan ada kalanya underbow dibutuhkan sebagai lembaga independen parpol yang bertugas untuk mengawasi jalannya roda organisasi.

Hal ini sama pentingnya untuk menolak partai politik, bukan menolak sentimen ideologisnya karena sentimen tersebut ‘tidak benar’, tanpa dasar, dan kemudian merencanakan sebuah bentuk parpol baru. Tetapi, underbow harus berani menemukan aspek-aspek penyelewengan yang dilakukan parpol, dan kemudian merevolusionerkan aspek-aspek tersebut kembali ke jalan lurusnya. Peran inilah yang seharusnya tampak pada underbow, bukan hanya mengekor dan mengamini setiap kebijakan parpol.

Kenyataannya kini memang benar, jika OKP sebagai underbow parpor ada sudah layak dan pantas mengekor, dan kepanjangan tangan kebijakan parpol. Ini tidak bertentangan dengan asas demokrasi yang kita anut sekarang. Dimana setiap parpol berhak mempunyai lembaga-lembaga independen/OKP sebagai basis gerakan, pengkaderan dan underbow parpol.

Pertanyaan paling mendasar tentang OKP adalah bahwa mengapa mereka hanya semata-mata kepanjangan tangan dari partai politik? Apa tidak ada peran lain selain mengamini partai politik induk? Bagaimana sepak terjang OKP? Apakah ia hanya sebagai underbow atau sebagai penyeimbang dan pengawas? Hal yang paling urgen dalam tubuh underbow adalah, apakah yang bisa dilakukan OKP partai politik saat ini dan masa mendatang?

dari Lokal menuju Demokrasi Sosial

Berkaca pada demokrasi Barat, penyusunan undang-undang, aturan, dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) parpol, ditentukan oleh mereka yang cenderung untuk melakukan kesalahan dan penyimpangan dikarenakan dorongan hawa nafsu mereka. Dan mungkin saja mereka membuat aturan yang bertentangan dan tidak sesuai dengan kemaslahatan mereka. Seperti yang kita saksikan hari ini banyak sekali aturan-aturan seperti itu yang telah diterapkan dalam berbagai masyarakat dan tidak berapa lama kemudian, dengan melihatkan kepada kesan atau dampaknya yang merugikan, undang-undang itu dibatalkan atau untuk mengelabuhi publik aturan itu direvisi.

So what after demokrasi? Dengan cukup simpatik Anthony Giddens dalam bukunya, berupaya membuka jalan lain menuju “surga” kesejahteraan sosial yang disebutnya ‘the third way’, jalan ketiga menuju pembaruan demokrasi sosial. Menurut Giddens, program jalan ketiga itu di antaranya: pusat yang radikal, negara demokratis baru, masyarakat madani yang aktif, keluarga demokratis, ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif, social investment state, bangsa kosmopolitan dan demokrasi kosmopolitan.

Apa yang ada di benak Giddens adalah sebuah utopia ‘jalan ketiga’ menuju demokrasi sosial yang sejak lama telah ada dan tidak jauh berbeda dengan cita-cita underbow utopis; bahwa underbow demokratis adalah sebuah asas bagi pembentukan suatu tatanan politik dan sosial yang di dalamnya semua orang akan memiliki kebebasan yang sama di semua bidang kehidupan melalui solidaritas dan organisasi masyarakat.

Dialektika politis terus mengalami perubahan tiada henti dan tidak akan pernah mandeg sekalipun dalam taraf sistem yang paling sempurna. Di banyak sisi, OKP memberikan berbagai catatan miring yang dapat di sodorkan untuk disandingkan dalam pemikiran politik kontemporer di tubuh parpol. Di berbagai sisi akademis, tidak pernah tuntas untuk mediskusikan teori-teori yang lazim digunakan OKP. Bisa jadi ujung-ujungnya ialah mendefinisi ulang. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Forum Studi Transformasi Sosial (FSTS) sebagai wahana yang merusaha menjembatani senjangnya antara wacana dan realitas politik, maka salah jika penyelesaian kasus ini dengan cara melakukan penelitian. Dari berbagai pendekatan dan prosedur yang dilakukan dan ditemukan di lapangan, khususnya di wailayah Jawa Timur, ada beberapa temuan yang dapat diusung kembali menjadi sinergi dengan teori-teori perilaku dan interkasi simbolik.

Jika ini yang terjadi dalam demokrasi kita, metode seperti pemilihan umum dan jajak pendapat, bersandarkan kepada suara mayoritas merupakan jalan yang paling praktis dan terbaik yang diterima. Tapi ada kalanya suara mayoritas rakyat atau wakil mereka memberi suara yang mendatangkan kerugian dan malah keburukan, seperti mana yang terdapat di Barat ketika mereka mengesahkan undang-undang amoral homosexual di sebagian negara barat karena mendapat suara mayoritas anggota parlemen.

Despotik dan kebebasan individu dalam tubuh OKP ini akan menemui jalan buntu. jika menekankan peran mulia dan bertanggungjawab individu dalam membina dirinya dan masyarakat. Mengingat, OKP selama ini selalu menjadi underbow parpol bukan sebagai penyeimbang organisasi. Dengan meninjau demokrasi dalam tubuh OKP, dapat tarik sautu konklusi bahwa keberadaannya tidak menyediakan diri sebagai kepentingan rakyat dan masyarakat dari berbagai dimensi. Kepaduan ini dikarenakan sistem demokrasi tidak ditegakkan atas dasar nilai-nilai komprehensif. Sebuah sistem yang seharusnya menyediakan dunia manusia secara adil dan seimbang jauh dari kefasadan, penyimpangan dan kehancuran.

*) Penulis adalah Alumni mahasiswa Pascasarjana Magister Kebijakan Pendidikan UMM, Email: Siril_wafa@yahoo.co.id

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *