Menjadi Orang Tua Teladan

Pendidikan anak hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang tua dengan anak-anak. Jika anak merasa disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka anak akan merasa bahwa mereka adalah bagian dari keluarga.
Sebagai orang tua hendaknya memperhatikan keinginan anak sepanjang keinginan tersebut tidak menyalahi norma dan aturan yang berlaku di masyarakat maupun agamanya. Begitu juga sebaliknya, anak pun juga harus tahu kewajibannya yang harus dilakukan sebelum meminta hak kepada orang tuanya. Namun, menemukan anak dengan tipe ini sangatlah sulit. Mereka cenderung tidak mengerti kewajibannya dan selalu mementingkan haknya, oleh itu sebagai orang tua harus punya perencanaan yang matang dalam mendidik anaknya lebih-lebih cara mendidik anak itu dilakukan dengan penuh kasih sayang dan keteladanan.
Betapa bahagia orang tua ketika di hari kemudian mereka dapat memetik hasil jerih payah mereka dan beteduh di bawah kerindangan tanaman yang mereka tanam? Betapa ringannya jiwa dan beningnya mata, ketika melihat buah hatinya adalah malaikat–malaikat yang berjalan di muka bumi, ketika jantung hatinya adalah mushaf Al Qur’an yang bergerak di gerumulan manusia. Namun, apakah orang tua cukup dengan sekedar menunaikan tanggung jawab dan kewajiban tersebut lantas berpangku tangan dan masa bodoh?
Keteladanan dalam pendidikan anak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan karena terbukti ampuh dan paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Oleh karena itu, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik buruknya anak. Jika orang tuanya jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran terbentuk dengan akhlak mulia dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya jika orang tua seorang pembohong, penghianat, orang yang kikir, penakut dan hina maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina.
Adakalanya kita mengingat kembali keteladanan dalam Islam, ungkapan kata keteladanan biasanya disebut dengan “uswatun khasanah” yang sebenarnya diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Ahzab: 21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri)Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Pribadi agung yang terdapat dalam kehidupan Rasulullah SAW, sebagai pembawa risalah tertulis dalam tinta emas sejarah Islam. Betapa hebatnya beliau yang kehidupannya menjadi suri teladan hidup bagi umatnya. Bahkan setelah beliau wafat sepantasnya beliau mendapatkan gelar pelopor dunia dalam segala bidang kehidupan, baik perjuangan, moral, akhlak, rumah tangga, pribadi dan sebagainya.
Ungkapan uswatun khasanah amat pantas bagi Nabi Muhammad SW, nabi adalah sosok yang bijaksana mendidik umat dan santun dalam bergaul. Maka pantas pula apabila beliau mendapatkan julukan Al Amin, bersifat amanah, seperti firman Allah SWT dalam AL Qur’an surat Al Qalam : 4 berbunyi “Dan sesungguhnya kamu benar – benar berbudi pekerti yang agung.” Selain itu keteladanan beliau ditunjukkan dengan sikapnya yang pemurah, pengasih, penyayang. Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila didalam risalah kerasulannya beliau mendapatkan sebutan rahmatan lil ‘alamin. Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Anbiya: 107 dikatakan “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Pun demikian dengan orang tuanya, mereka menganggap bahwa anak adalah investasi masa depan kita. Lantas, mengapa kita tidak mempersiapkan cara yang tepat dalam pendidikan anak-anak kita dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakatnya. Bagi orang tua, mendidik anak yang dilakukan tanpa dipikir masak-masak terlebih dahulu, kelancangan lidah, dan merasa dirinya lebih tinggi dari pada orang lain dengan alasan agar anak menjadi pemberani. Yang jelas, hal itu bukanlah metode mendidik yang efektif. Sebagai orang tua, ajarilah anak kita bagaimana berpikir terlebih dahulu dan termenung berpikir bukan melamun sebelum melakukan aktivitas yang akan dikerjakannya. Orang Amerika dan Jepang terkenal dalah hal ini, mereka lebih banyak berbicara planning daripada action. Ketika berbicara rencana (berpikir sebelum melakukan kegiatan) jauh lebih lama daripada pelaksanannya itu sendiri. Bisa jadi pelaksanaannya hanya satu jam tapi berpikirnya lebih dari satu bulan.
Dengan membiasakan anak berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan suatu hal. Maka, kelak di kemudian hari akan membiasakan anak dapat mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Pembiasaan itu dapat dimulai dari hal-hal yang kecil, misalnya sebelum makan anak ditanyakan dari mana asal makanan yang akan kita makan? Atau menanyakan bagaimana akibatnya jika sehari tanpa makan apapun? Jika anak bisa mengetahui hal tersebut maka pantang bagi anak untuk menghambur-hamburkan (memubazirkan) makanan. Karena di sekitar kita masih banyak orang yang kekurangan makan dan bahkan tidak makan sama sekali.
Dengan demikian, orang tua mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah memberi nafkah saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Orang tua juga berperan sebagai guru yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Semoga di masa depan kita menemukan malaikat-malaikat yang kita tanam dan kita jualah yang akan memetik hasilnya.

Sengata, 9 April 2008

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *