Mimpiku di Sangatta

Beberap tahun yang lalu saya menentukan pilihan untuk pindah ke Sangata. Ada guratan-guratan mimpi yang ingin saya rajut, dan kini sedang saya jalani, tapi saya masih belum begitu mudah melupakan begitu saja pada awal kedatanganku di Kota Sangata. Bagaimana tidak? Misalnya manakala “Adzan subuh bergema, tapi orang-orang di sekelilingku masih terlelap dalam tidur. Apakah panggilan itu terlalu jauh letaknya? atau memang mereka telah tuli dengan panggilan itu?”. Pertanyaan itu selalu menghantui saya ketika adzan subuh menggema. Selama ini, memang begitulah fenomena yang terjadi, tidak ada perubahan. Semuanya terlelap dengan mimpinya masing-masing. Saya meronta-ronta dalam hati, menjerit-jerit kesakitan bagai seorang pasien yang berada di rumah sakit ketika divonis dokter bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan lagi secara medis.

Saya terbangun dari mimpi-mimpi indah; tentang orang-orang yang menyayangi saya dulu. Apa karena saya punya adik setengah lusin dan orang tua saya sibuk mencari nafkah dan terjerembab dengan kehidupan kota minipolitan. “Bagaimana bisa, kota ini disebut dengan minipolitan?” saya melanjutkan mimpiku.

Seorang satpam pernah berkata pada saya tentang demikian besarnya peredaran uang di kota kecil di hutan ini. Bayangkan, dalam satu kali isi ATM tidak kurang dari 20 milyar. Itupun sampai dua tiga kali isi dalam sehari-hari. Demikian besarnya peredaran uang, tapi saya masih belum tahu betul kemana peredaran uang itu; tempat-tempat hiburan tidak ada, bioskop masih sekedar impian, mal-mal perbelajaan masih terlihat cantik di kertas perencanaan pembangunan kota, central business pun masih belum ada. Satu-satunya hiburan di kotaku hanya sebuah taman yang berada di pusat kota, “town hall” namanya. Di sanalah tempat berkumpul pusat peradaban kapitalis Sangatta, bank bercecer tidak rapi memenuhi Town Hall.

“Kondisi yang paradoks” saya sebut demikian untuk mengungkap Kota Sangatta. Kota yang baru bediri sejak tahun 1999 akibat pemekaran Kabupaten Kutai Kalimantan Timur ini, sekarang telah menjadi ibu kota kabupaten Kutai Timur. Berawal dari ketika saya melewati jalanan Sangata-Bontang, di kanan kiri jalan itulah Taman Nasional Kutai (TNK) berada. Beberapa tahun yang lalu, TNK di sepanjang jalan tersebut masih nampak hijau bagai untaian permadani di jamrud katulistiwa. Tapi sekarang, pemandangan tersebut sudah tidak bisa kita temukan akibat keserakahan makhluk yang bernama manusia. Banyak pepohonan ditebang dan hutan nampak gerrsang. TNK yang sempat menjadi kebanggaan Kalimantan Timur kini telah memudar dan kondisinya berubah total malah.

Saya juga menemui pemandangan yang sama ketika melakukan perjalanan ke arah Batu Putih – Tanjung Bara (10 km dari pusat kota). Kompleks pemukiman bagi kalangan elit, borjuis, dan eklusif yang bekerja di salah satu perusahaan terkenal di Kota ini. Perbukitan menjadi gundul akibat proses penambangan yang dilakukan 24 jam nonstop. Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan tidak hanya pada Sumber Daya Alam (SDA) namun juga Sumber Daya manasia (SDM). Mengapa demikian?

Sangata, kota kecil yang diapit dua Taman Nasional Kutai (TNK) dan Taman Nasional Muara Wahau. Kota dengan tambang batu bara terbesar yang dikelola PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Sangata merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Kalimantan Timur. Kota ini dikenal dengan julukan kota tambang. Bila di Sangata lama awalnya ada tambang minyak, di Sangata baru ada tambang batu bara yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi sejak tahun 1987.

Menurut catatan Wikipidia, Sangata merupakan sebuah kota kecil yang dijadikan ibu kota kabupaten kutai timur, yang merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran dari kabupaten kutai yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 tahun 1999, tentang pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten. diresmikan oleh menteri dalam negeri pada tanggal 28 oktober 1999 dengan luas wilayah 35.747,50 km², kutai timur terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat diantara 115°56\’26\”-118°58\’19\” bt dan 1°17\’1\” ls-1°52\’39\” lu. Kutai Timur memiliki keadaan topografi yang bervariasi, mulai dari daerah dataran seluas 536.200 ha, lereng bergelombang (1,42 juta ha), hingga pegunungan (1,6 juta ha), tersimpan potensi batu bara 5,35 miliar ton.

Sebagai kota tambang batu bara, batu bara di Sangata muncul ke permukaan bumi dan bahkan membentuk bukit-bukit batu bara yang tinggal dipoles sedikit lalu tinggal mengeruk batu baranya. Para karyawan yang bekerja di pertambangan batu bara Sangata bekerja 8 jam dengan dibagi menjadi 3 shift. Lama kerja yang seperti ini sesuai dengan aturan Undang-Undang Ketenagakerjaan, 3 dikalikan 8 jadi 24 jam, genap sehari semalam eksploitasi tambang itu tidak berhenti, sungguh pemandangan yang lagi-lagi paradoks. Yang lebih parah lagi, jam kerja ada yang 12 jam dan hanya menggunakan 2 shift.

Biasanya, penambangan di pertambangan batu bara dilakukan dengan menggali dan masuk-masuk terowongan, misalnya di Cina atau di daerah-daerah Indonesia lainnya. Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi pertambangan batu bara di Sangata. Batu bara muncul ke permukaan bumi dan bahkan membentuk bukit-bukit batu bara yang tinggal dipoles sedikit lalu tinggal mengeruk batu baranya. Barangkali dengan menggunakan “aji mumpung” seperti orang Jawa kalau lagi punya kesempatan mereka akan menggunakan dan menghabiskan semuanya tidak tahu apakah besok butuh atau tidak. Pun demikian dengan Sangata, lama kerja 8 jam dengan dibagi menjadi 3 shift semakin memperjelas asumsi saya akan eksploitasi yang dikumandangkan di bumi Sangata. 3 dikalikan 8 jadi 24 jam, genap sehari semalam eksploitasi tambang itu tidak berhenti, sungguh pemandangan yang lagi-lagi paradoks. Yang lebih parah lagi, jam kerja ada yang 12 jam dan hanya menggunakan 2 shift.

Sangatta termasuk daerah “remote area”, yaitu salah satu daerah marginal yang secara social capital kurang punya akses dan andil besar, tapi hal itu tidak menyurutkan minat dan libido warga Sangata untuk mengkapitalisasi Sangata. Ekspansi besar-besaran secara ekonomi yang dibubuhi dengan budaya instan dan siap saji semakin menjadikan SDM kurang paham akan makna edukasi, teori “Human Capital” belum benar-benar berlaku di sini. Kondisi ini apabila tidak segera diantisipasi memungkinkan Sangatta akan menjadi “Kota Hantu” dalam waktu dekat, mengingat hampir nafas dan jantung kehidupan Sangatta berasal dari sana.

Saya tetap saja buta akan kondisi Sangatta. beberapa hari kemudian, ada secercah harapan akan pertanyaan itu ketika saya bertemu dengan seorang penulis di Kota Sangata ini. Dia Ia sedikit banyak memberikan gambaran tentang Sangatta. Dialah yang kemudian hari banyak memberi dinamika dalam hidup saya. “Saya seorang penulis, sejak SMP, SMA, hingga kuliah saya aktif pada jurnalistik mulai dari medding, buletin, dan majalah kampus. Pelatihan skala nasional pun pernah saya ikuti. Alhamdulillah, tulisan saya pernah dimuat di beberapa majalah ibukota, karena itu saya memahami kegelisahan anda. Sebagaimana saya dan teman-teman yang begitu menaruh harapan akan nuansa dan suasana Islami di Sangata. Tapi sekali lagi saya katakan “jangan terlalu berharap banyak dari lingkungan sekelilingmu”, karena jika hal itu yang ada dalam harapan dan benak anda, maka yang akan didapat lebih banyak kekecewaan dan kehampaan”.

Bukan, bukan karena dia seorang penulis lantas saya mempercayai ucapannya, tapi memang saya butuh banyak data untuk mengungkap setiap jengkal mimpi-mimpi yang sedang saya rajut.

“Mulailah dari diri sendiri dulu, amati dan pahami kondisi sekitarmu dan coba petrlahan-lahan beradaptasi dengan lingkungan sekitarmu. Pada satu sisi juga jangan kamu abaikan yang menjadi prinsip diri. Kamu berpendidikan yang lumayan tinggi dan juga seorang penulis, karena itu saya yakin kamu akan mudah beradaptasi dengan lingkungan barumu”. Dia melanjutkan ceritanya.

Saya semakin menyadari satu hal. Ada tugas penting yang harus dikerjakan dan semua orang diminta untuk mengerjakannya. Semua orang yakin bahwa seseorang akan melakukan pekerjaan ini karena memang pekerjaan ini sepele dan mudah. Tentu siapa saja bisa melakukannya, namun tak seorangpun melakukannya. Seseorang menjadi marah tentang hal itu, sebab ini adalah tugas semua orang. Semua orang menganggap bahwa siapa saja bisa melakukannya, namun tak seorangpun menyadari bahwa semua orang tidak akan melakukannya. Akhirnya semua orang menyalahkan seseorang ketika tak seorangpun melakukan apa yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Lagi-lagi saya melanjutkan mimpi indah di Sangatta sembari mendengar alunan lagunya Snada;

“Every body said that, any body could do the important thing some body should do. Any body knows that, any body could do. All the good thing\’s that no body did”

Nampaknya, mimpiku ini butuh seorang penafsir mimpi seperti tafsir mimpinya Nabi Yusuf ketika di penjara. Yusuf bisa memahami dan mengartikulasikan setiap mimpi sesorang menjadi sebuah kenyataan, saya butuh tafsir mimpi seperti yang ada dalam kitab “Ta’birur Ru’ya”. Sehingga, tiap-tiap jengkal mimpiku ini menjadi kenyataan.

Mimpi yang dulu kulami sendiri di Sangatta, sekarang akan kuarungi bersama dengan istriku. Satu permintaannya yang kuingat sebelum kami menuju Sangatta bahwa akad nikah nanti cukup dilakukan di rumahnya, Saya membacakan Surat Ar Rahman dengan tartil seperti permintaannya dan pelaksanaan akad nikahnya cukup di rumah sendiri, di Magetan – kota impian untuk dijadikan akad nikah bagi calon istri saya. Karena dia tahu bahwa setelah pernikahan dia harus ikut suaminya kemanapun pergi, mendampinginya dimanapun suaminya akan bertugas.

 

Owner Banyu Mili Travel

“Jadilah guru bagi diri sendiri, sebelum menjadi guru orang lain”

http://mkpd.wordpress.com