Oase Sekolah Baru

Malam hari itu, satu hari sebelum hari pertama pembelajaran di sekolah, saya dan kepala sekolah mengunjungi sekolah yang baru didirikan. Kedatangan saya malam itu hanyalah untuk melihat sejauh mana persiapan sekolah untuk menyambut peserta didik baru dan pertama di sekolah.

Pak Imam  sebagai kepala sekolah dan dua orang guru yang baru direkrut untuk menangani SD Muhammadiyah Full Day Sangatta tampak berharap-harap cemas. Dua puluh siswa yang mendaftar di sekolah ini belum juga menampakkan batang hidungnya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WITA. Waktu dimulainya pelajaran pertama. Sekolah yang dipaksakan harus berdiri tahun ini juga itu belum mempunyai gedung sendiri. Sementara untuk proses kegiatan belajar mengajar (KBM) harus meminjam aula TK ABA 2 yang disulap menjadi kelas terlebih dahulu.

“Gedung baru SD jadi apa nggak? Yang pasti aula akan digunakan TK, kalau tidak bisa harus dicari pinjaman tempat lain mulai sekarang” tanya kepala sekolah kepada saya.

Bunyi SMS itupun langsung saya forward ke salah satu pengurus untuk menindaklanjuti kegelisahan kepala sekolah melihat fasilatas gedung yang diinginkan untuk segera terealisasi segera. Tidak berselang lama HP sayapun berdering dengan nada SMS

“insyaallah pembangunannya sesegera mungkin, kapan informasi kepastian TK akan memakainya? Kami sebelumnya sudah mendapat kepastian sebelumnya bahwa selama gedung belum jadi kita bisa menggunakan TK. Disamping itu biaya penyelesaian aula TK juga kita talangi. Untuk lebih meyakinkan kepastian ini, silahkan Pak Imam konfirmasi ke kepala TK ABA 2. terima kasih”

Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan sekolah yang saya bina. Di sana sini masih banyak terlihat tukang bangunan yang dideadline untuk menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan dalam kurun waktu enam bulan. Tapi bagi kami, dua bulan sudah harus terselesaikan, karena kami tidak ingin jika anak didik kami nantinya ke sekolah melihat bangunan sekolahnya belum jadi.

Hari yang saya tunggu kini tiba, hari pertama pembelajaran di Sekolah Muhammadiyah Full Day. Sekolah yang dicitakan menjadi sekolah unggulan dan pusat rujukan pengembangan aqidah itu kini telah berjajar para orang tua murid yang mengantarkan anak-anaknya untuk dipercayakan kepada kami, para gurunya. Secara fasilitas, gedung yang tidak segera dibangun, padahal pihak pengurus sudah menyanggupi akan segera merealisasikan. Namun, sampai saat ini pembangunan belum juga selesai. Akhirnya sekolah ini harus menumpang di TK ABA yang secara struktural masih di bawah majelis dikdasmen, sehingga beberapa jenak kami bisa menggunakan beberapa fasilitasnya. Seperti ruang kelas yang sementara ini kami gunakan adalah aula TK ini.

Jika melihat sarana dan prasarana, maka sangatlah mengenaskan dan jauh dari aturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) seperti yang diungkap dalam Keputusan Mendiknas No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan, yang meliputi standar pelayanan kurikulum, anak didik, ketenagaan, sarana prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen Sekolah, peran serta masyarakat, sebenarnya kurang layak jika sekolah ini berdiri. Namun, untuk ukuran Sangatta sebuah Kota pertambangan batubara adalah mungkin. Secara akses dan kualitas SDM yang memungkinkan untuk didirikan menjadi sekolah.

Pun demikian dengan Alat Tulis Kantor (ATK), sementara saya harus meminjam terlebih dahulu di TK ini, Yang kami punya hanyalah kepercayaan dari orang tua dan tanggungjawab saya untuk membalas kepercayaan itu menjadi sebuah harapan dan realita bagi investasi humani anak-anak mereka di masa depan, bahwa sekolah ini nanti akan menjadi sekolah unggulan yang output dan outcomenya akan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan agamanya atau setidaknya bagi dirinya dan keluarganya.

Sebagai seorang yang dipercayakan untuk mengelola sekolah ini, meskipun secara tidak langsung. Saya tetap berkewajiban secara moral untuk mengawal bagaimana proses pembelajaran dilakukan di sekolah ini. Ada beberapa briefing singkat yang saya lakukan kepada Bapak/Ibu gurunya mengenai metode pembelajaran kepada peserta didik di sekolah yang baru saja berdiri satu minggu kemudian.

Beberapa kharakter sekolah yang ingin saya bangun untuk sekolah ini adalah diferensiasi dengan sekolah-sekolah yang ada di sekelilingnya. Yakni sekolah yang bernuansa Islami. Penggantian sebutan untuk guru pun saya rubah, dari “Pak guru dan Bu Guru” menjadi sebutan yang lebih manis untuk anak-anak “Ustad dan Ustadzah”. Sebutan yang biasa dilakukan untuk orang yang expert di bidang agama di surau-surau, masjid-masjid, maupun di pesantren-pesantren.

Di hari itu juga saya memberikan pelatihan ice breaker kepada guru-guru yang langsung saya praktekkan di depan peserta didik. Disamping meteri character building untuk pembangunan kharacter mental anak dengan sudah beberapa tahun yang lalu saya kuasai tapi tidak pernah saya gunakan.

Pengaturan tata letak bangku pun saya serahkan sepenuhnya kepada guru, anak tidak hanya terpancang pada satu bangku itu dan di situ, namun variasi tempat duduk, perubahan tata letak, penggunaan metode karpet, maupun metode outing. Ini semata-mata untuk pengayaan metode pembelajaran dan supaya pembelajaran supaya lebih menyenangkan bagi anak. Dan anak pun senang dengan perubahan yang cukup signifikan.

“Ibu-Ibu, Bapak-Bapak. Silahkan dilihat, ada perubahan yang signifikan pada anak didik dari hari pertama sampai dengan hari ketiga, hari ini. Hari pertama semua siswa tampak lesu, karena kebiasaan mereka yang pulang pagi waktu di TK nya, pulang pukul 10.00. sementara sekolah ini adalah sekolah full day, pulang pukul 14.00 untuk siswa kelas I dan II, dan pulang pukul 16.00 untuk kelas besar (III sampai dengan VI). Awalnya pukul sepuluh, anak didik sudah mulai mengeluh ingin dipulangkan cepat. Banyak alasan yang mereka utarakan mulai dari kebiasaan mereka di TK pulang lebih awal dari SD sampai dengan ada yang tidak mau diajar. Kini, anak didik sudah terbiasa dengan kondisi sekolah fullday, pulang agak sore”. Demikian saya menjelaskan kepada orang tua yang awalnya kurang begitu yakin akan sekolah ini.

Ibu-ibu semakin memberikan kepercayaan pada sekolah ini, meskipun fasilitas sekolah belum begitu lengkap. Keinginan saya tidak difasilitasi secara lengkap, tapi minimal ada. Mendengar orasi saya yang sedikit membara dengan diselingi rasa sungkan tidak bisa mendirikan sekolah unggulan dengan fasilitas memadai, tapi setidaknya orang tua sudah memberikan kepercayaan. Bahkan beberapa hari belakangan ada kiriman “tandon” (tempat penampungan air), maklum saja untuk pembelajaran sholat yang didahului dengan berwudlu, namun sarana dan perlengkapan wudlu belum juga di bangun. Barangkali Ibu ini begitu yakin dengan adanya tandon air ini akan ada tetesan embun-embun penyejuk sebelum pembelajaran sholat dilakukan. Terima kasih Bu, semoga menjadi amal ibadah Ibu (*)\"\".

2 thoughts on “Oase Sekolah Baru”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *