Refleksi Hari Pendidikan Anak, 23 Juli 2007

SENIN ini merupakan hari istimewa bagi anak Indonesia. Karena pada tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional. Berbagai kegiatan pun digelar. Semuanya mengagungkan dan menumbuhkan kreativitas anak-anak Indonesia. Peran aktif dari si anak dalam proses belajarnya berdasar minat dan kemampuannya, si anak berinisiatif dan bergerak aktif untuk mengeksplorasi langsung lingkungannya dengan menggunakan benda-benda konkret yang dekat dengan kehidupannya. Untuk itulah, strategi utama bagi pembelajaran anak, yaitu bermain. Mungkin bagi orang dewasa, bermain masih sering diartikan sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu. Padahal, sesungguhnya itu adalah sarana terbaik bagi seorang anak untuk belajar secara aktif dan menyenangkan. Sebab, tidak bisa dimungkiri bahwa anak sebagai penerus bangsa masih belum mendapat perhatian yang memadai dari masyarakat, terutama dalam pendidikan.

Interaksi antara anak dan guru sangat penting. Guru hendaknya merespons dengan cepat dan langsung pada kebutuhan, keinginan, dan pesan anak, serta menyesuaikan respons terhadap perbedaan style dan kemampuan anak. Guru juga harus memberi banyak kesempatan kepada anak untuk berkomunikasi, memfasilitasi keberhasilan anak menyelesaikan tugas berupa dukungan, perhatian, kedekatan fisik dan dorongan. Orang dewasa paham bahwa anak belajar melalui trial and error dan bahwa kesalahpahaman anak mencerminkan perkembangan berpikirnya.

Guru harus selalu memperhatikan tanda-tanda anak yang stres dan tahu cara membantu anak menghadapinya. Selain itu, guru juga perlu membagi pengetahuannya tentang perkembangan anak, pemahaman, dan sumber daya yang ada sebagai bagian dari komunikasi rutin sewaktu pertemuan dengan orangtua. Orangtua merupakan pihak yang tepat dan bertanggung jawab untuk membagi dalam mengambil keputusan untuk anaknya, tentang apa yang berguna untuk anak dan pendidikannya. Orangtua harus didorong untuk memerhatikan dan berpartisipasi. Keputusan penting tentang anak, misalnya pendaftaran ke suatu sekolah, sebaiknya tidak dibuat berdasarkan satu assesment perkembangan atau alat tes, melainkan berdasarkan hasil observasi guru dan orangtua.

Pemahaman akan peran dan kebutuhan anak dapat dikatakan bukanlah sesuatu yang mendapat perhatian besar dari masyarakat dalam strata apa pun, dari yang paling rendah sampai yang tinggi. Bahwasannya anak \’\’hanya mendengar, dan tidak untuk didengar\’\’, sehingga tidak jarang ada pemaksaan-pemaksaan terhadap anak. Sering kita lihat, orangtua memaksakan anaknya untuk ikut kegiatan yang sebenarnya tidak diminati anak. Misalnya, anak dipaksa untuk mengikuti les berbagai mata pelajaran, les tari, musik sampai ikut kursus model. Artinya, anak harus mengikuti ambisi dan keinginan orangtuanya, sehingga praktis masa sosialisasi dan keceriaan dunia anak terganggu. Mereka sangat jarang dapat menyalurkan kreativitasnya sesuai dengan dunianya.

Selain itu, sering terjadi diskriminasi terhadap hak anak. Khususnya dalam menentukan pendidikan bagi anak, gender seringkali menjadi faktor utama untuk menentukan siapakah dalam keluarga yang patut didahulukan dalam hal orangtua memiliki dana yang terbatas. Sering anak perempuan menjadi korban atas kondisi tersebut.

 

Instropeksi

Persepsi \”banyak anak banyak rejeki\” memberikan corak dan warna dalam tatanan nilai dan norma masyarakat Indonesia, khsusnya Jawa. Sejumlah analis mempunyai pendapat demikian bahwa pada awalnya masyarakat agraris yang pada dasarnya lebih memandang anak sebagai \’\’aset\’\’ karena mempunyai nilai ekonomis dengan membantu pekerjaan orang tua. Sementara itu, sejumlah analis yang lain memberi pendapat lebih mengetengahkan adanya jumlah anak yang banyak malah menjadikan beban tersendiri bagi orangtua kelak di hari tuanya.

Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu contoh kebijakan pemerintah yang perlu dipertanyakan. Memang, menurut laporan pemerintah telah menurunkan angka kelahiran. Namun itupun tidak terdengar secara tegas adanya kenaikan kualitas kehidupan anak yang seharusnya terjadi akibat menurunnya angka kelahiran. Bahkan sebaliknya, banyak anak usia sekolah yang bekerja dan putus sekolah adalah bukti yang nyata. Jumlah anak jalanan ternyata tidak pernah menurun, malah cenderung meningkat

Jika dilihat dari perspektif yuridis. Hak-hak anak yang berkenaan dengan hukum perdata, pidana, ketenagakerjaan, kesehatan, social welfare dan juga pendidikan, tidak memadai untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak. Kondisi ini makin dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang sedikit sudah ditentukan dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak . UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang kemudian dikenal dengan sebutan UUKDRT. Namun demikian, perlindungan tersebut masih terbatas dalam bentuk tulisan atau perundang-undangan, atau dengan perkataan lain perlindungan yang diberikan masih terbatas pada perlindungan material, sedangkan dari aspek penegakan hukumnya atau aspek formalnya, masih jauh dari harapan.

Untuk itulah, orangtua semestinya melakukan introspeksi terhadap anak utamanya dalam pendidikan. Demikian pula pemerintah mesti terus berupaya mewujudkan hak-hak anak Indonesia. Kewajiban pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk penyiksaan jasmani, penyiksaan psikologis, penyiksaan seksual, penelantaran, eksploitasi, pronografi, dan perdagangan anak. Yang tak kalah pentingnya hak anak adalah untuk mendapatkan pendidikan secara merata. Ini artinya pemerintah harus meperhatikan anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi untuk mendapat pendidikan secara layak dan berkualitas minimal terkait dengan program WAJAR SEMBILAN TAHUN.

4 thoughts on “Refleksi Hari Pendidikan Anak, 23 Juli 2007”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *