Jadug

Ketika lulus sekolah dasar, tidak banyak sekolah yang bisa saya jadikan referensi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Orang tua saya juga tidak memiliki rekomendasi, saran, ataupun bimbingan bahkan impian harus menyekolahkan saya di suatu sekolah favorit, mengingat kedua orang tua saya tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih tentang persekolahan.

Harap dimaklumi kedua orang tua saya tidak pernah mengenyam dunia pendidikan, ibu dan bapak tidak tamat sekolah dasar. Ibu hanya sampai kelas 3 sekolah dasar sementara bapak saya hanya berusia 7 hari mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Referensi sekolah dari teman juga tidak saya dapatkan kala itu karena saya mengenyam sekolah dasar di kampung, sebuah daerah pesisir pantai utara yang jauh dari keramaian pusat ibukota kabupaten.

"Pondok pesantren!" jawab saya tegas kepada orang tua ketika ditanya akan melanjutkan sekolah. Pilihan saya ketika ditanya orang tua untuk melanjutkan sekolah tingkat pertama setelah lulus sekolah dasar adalah melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Mendengar saya ingin nyantri di pondok pesantren, maka kedua orang tua saya sangat gembira. Barangkali kedua orang tua saya menganggap bahwa ketika anaknya ngaji di pesantren, maka anaknya akan bisa mengaji dan menjadi anak yang sholeh. Padahal sebenarnya ketika saya memilih pondok pesantren sebagai tujuan saya meneruskan pendidikan adalah bukan karena ingin pinter mengaji dan mumpuni dalam ilmu agama, tetapi saya ingin jadug (ampuh).

Pada jaman saya kelas 6 SD ketika akan lulus, banyak pemuda di kampung saya berlatih ilmu bela diri menjadi yang terkuat dan sakti. Melihat hal itu muncul keinginan saya untuk bisa menjadi orang yang sakti dan mampu melebihinya. Salah satu wadah yang memungkinkan saya bisa ampuh adalah menjadi santri di sebuah pondok pesantren yang awalnya saya tahu di samping mengajarkan ilmu agama juga mengajarkan ilmu kanuragan. Ada semacam pameo di masyarakat bahwa seseorang yang nyantri selain alim ilmu keagamaan juga dibekali dengan ilmu kanuragan.

Hal inilah yang membuat saya mantap untuk meneruskan sekolah lanjutan pertama dan menjadi santri di pondok pesantren. Pesantren pertama yang saya tuju adalah pondok pesantren Badrul Munir yang beralamat di Sekarjalak – Pati yang diasuh langsung oleh Kyai Ali Achmadi. Di pesantren ini selain diajarkan cara baca tulis Alquran, mengaji kitab-kitab kuning juga sering diadakan penggemblengan ilmu kanuragan. Banyak alumni yang membawa teman maupun kolega serta berbagai kalangan masyarakat sowan pada Kyai untuk diberikan amalan-amalan khusus. Tidak jarang setiap malam Jumat selalu ada tasyakuran dengan menyembelih "pitik putih mulus", seekor ayam yang mempunyai warna putih di seluruh tubuhnya.

Pada suatu peristiwa khusus seseorang yang belajar ilmu kanuragan di pesantren membutuhkan "pitik putih mulus sanggar weringin" ataupun "pitik putih mulus sanggar delima". Kedua jenis ayam ini sangat susah ditemukan selain warnanya harus berwarna putih semua, untuk ayam sanggar weringin di bagian jengger nya berbentuk seperti pohon beringin sementara untuk ayam sanggar delima bentuk jengger seperti kelopak buah delima dan ada lubang di bagian depan tembus ke belakang jenggernya.

Suatu hari nanti, saya membeli ayam pitik mulus sanggar wringing ini harus rela menjual sepeda pancal bermerk "phoenix" kesayangan saya yang dibelikan oleh bapak untuk digunakan berangkat dari pesantren ke sekolah. Ayam jenis ini digunakan sebagai pelengkap ritual dalam menjalani amalan khusus yang didapat dari seorang Kyai sepuh.

Ketika nyantri di pesantren yang beralamat di Desa Sekarjalak ini, saya bersama dua sahabat yang lain yang masih berada di bangku sekolah menengah tingkat pertama sowan ke kyai untuk mengutarakan maksud agar Sang Kiai mewedarkan salah satu ilmu kanuragan. Ternyata setelah selesai mengutarakan maksud, Sang Kyai tidak memberikan saya dan kedua orang teman sebuah amalan, karena dianggap masih terlalu dini untuk mengenal olah kanuragan.

Berada di pesantren ini yang hanya satu tahun, barangkali sang Kyai tahu kapan waktunya santri-santrinya akan mendapatkan giliran untuk mendapatkan amalan khusus dalam bidang kanuragan. Bagi santri baru tidak serta merta diberi amalan-amalan khusus, tetapi seorang santri baru diajari dasar-dasar mengenal ilmu agama, tata cara membaca al-quran dan kaidah nahwu shorof yang digunakan untuk mengenal kitab kuning.

Sampai akhirnya saya pindah sekolah dan pindah pesantren, tidak satupun amalan, wiridan, dan ilmu kanuragan khusus saya dapatkan sampai pada pesantren berikutnya ketika saya mengenyam pendidikan MTs. Saya lulus di pesantren ketika mengenyam SMP, empat tahun lamanya saya berada di dua pesantren ini dan tidak mendapatkan ilmu kanuragan, sehingga saya tidak lagi berharap bahwa saya memiliki ilmu kanuragan dan dianggap menjadi orang yang sakti.

Memasuki masa SMA di Madrasah Aliyah, menginjak masa remaja keinginan itu muncul kembali. Walhasil ketika saya berada di pondok pesantren di kudus Jawa Tengah, sebuah pesantren yang berada tepat di depan menara Kudus. Pesantren ini merupakan pesantren ketiga yang saya lalui setelah pesantren pertama yang berada di desa Sekarjalak, Pati dan pesantren kedua yang berada di daerah Lasem, Rembang. Sampai pada ketiga pesantren ini saya tidak mendapatkan apa yang saya cari, menjadi santri yang jadug, ampuh, dan sakti mandraguna.

Di akhir masa masa SMA ini barulah kemudian saya mendapatkan banyak masukan dari para Kiai dan guru-guru untuk lebih menekuni lagi tentang ilmu agama. Disamping itu saya juga disarankan untuk melakukan berbagai macam ritual puasa untuk menata hati dan mengolah latihan fisik (riyadhoh) untuk lebih mengenal tentang ilmu agama.

Bertahun-tahun menjalani ritual puasa ini saya gunakan sebagai bentuk riyadhah dan juga menambah daftar panjang kebiasaan puasa para santri dalam menuntut ilmu agama. Santri harus membiasakan diri perut dalam keadaan lapar sehingga mempermudah untuk belajar agama. Sampai suatu ketika saya menganggap bahwa saya mendapatkan sesuatu yang selama ini saya inginkan sehingga membuat saya agak jumawa. Saya bahkan menganggap orang lain tidak mampu dan berada jauh dibawah saya.

Ternyata Allah subhanahu wa ta\’ala memberikan hidayah kepada saya lewat sebuah kejadian yang merubah hidup saya menjadi yang sekarang ini. Tahun 2003 saya mengalami kecelakaan bertabrakan dengan truk bermuatan sayur, saya yang selama ini menganggap ampuh dan tidak kebal senjata ternyata hanya berbenturan dengan mobil saja saya terpental sejauh enam meter dan kaki kanan saya mengalami patah tulang.

Kejadian inilah yang merubah paradigma berpikir saya yang selama ini ingin menjadi ampuh dan jadug. Ampuh yang selama ini saya harapkan ternyata tidak bisa saya temukan seratus persen. Seampuh-ampuhnya seseorang masih ada orang yang lebih ampuh, sesakti- saktinya seseorang masih ada orang yang lebih sakti. begitu juga impian saya yang ingin menjadi jadug bahwa sejadug-jadugnya saya masih ada orang lain yang lebih jadug meskipun itu hanya sebuah truk bermuatan sayur.

Bagi saya, jadug itu bukan berarti menang dalam sebuah pertempuran atau menang single satu lawan satu dengan musuh atau siapapun yang menyelesaikan permasalahan secara jantan di arena pertandingan. Jadug adalah seseorang yang mampu memenangkan pertandingan tanpa harus mengalahkan orang lain, seseorang yang mengalahkan orang lain tanpa harus melukai perasaan orang lain sebagaimana peribahasa masyarakat Jawa "Menang Tanpo ngalahake atau menang tanpo ngasorak".

#Noto_Sandal_Sakdurunge_Noto_Ati
#Naskah buku Kyai_Kampung

Ket foto: Gus Dur mencium tangan Mbah Tur (Kyai saya saat nyantri di Kudus)

\"\"

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *